ada beberapa cerpen di fbook gue, yang mau baca monggo di baca..
ini link fbook saya ---->> http://www.facebook.com/vfchan?ref=tn_tnmn
oh ya mau baca cerpen yg judulnya i'm with you di atas? monggo di baca XD
Duduk sambil menyesap segelas coffee kesukaannya, di tengah udara
dingin yang menusuk tulang, cukup menghibur diri untuk seorang Caroline.
Butiran-butiran salju dapat dilihatnya dari sudut-sudut kaca, dingin semakin
merasuk, dan kini dia sudah mulai bosan menunggu. Caroline mengambil ipod dari
tas ranselnya, memasang headphone, dan memutar sebuah lagu. Dentingan-dentingan
alunan sebuah musik mengalun pelan, Caroline mengangkat sebelah tangannya dan
menaruh telapak tangannya dibawah dagu. Kini otaknya mengarahkan
fikiran-fikirannya melayang jauh dengan semua ingatan-ingatan yang ada.
***
Aku berlari-lari kecil menuju gerbang
sekolah, sebelumnya aku menengok ke arah jam yang melingkar di pergelangan
tanganku, sedikit shock melihat jarum jam berputar sangat cepat, aku
mempercepat langkahku. Tidak sadar dengan langkah-langkahku, aku tersandung dan
hampir saja mencium tanah, jika dia tidak menangkapku dengan cepat.
“dasar bodoh!”
Dia menangkap diriku, membantuku berdiri dan
mengatakan kalau aku bodoh. Berani sekali berkata seperti itu, aku mencoba
untuk bersabar karena dia yang menolongku, kalau tidak mungkin sebuah pukulan
sudah melayang jatuh di atas perutnya saat itu juga. Aku meringis, ketika dia
memukul kepalaku pelan.
“aw, kenapa memukulku sih?”
“supaya kamu tidak ceroboh lagi, jelek!”
Sabar,
sabar, sabar, baru saja dia menolongmu. Jangan layangkan tinjumu kepada
laki-laki menyebalkan itu Carol, jangan. Aku mewanti-wanti di dalam hati.
“Steve, thanks ya sudah nolongin aku tadi.”
Aku menyunggingkan senyum termanis yang aku
miliki, dan berharap dia akan takluk melihat senyumku itu. Hah, rasakan. Lihat senyum manisku ini, pasti kau tidak berkutik
melihatnya! Steven menengok ke arahku, menemukan senyumku masih mengembang
diwajah. Steven terseyum menatapku, ini kali pertama aku melihatnya tersenyum
seperti itu kepadaku.
Tiba-tiba Steve menghentikan langkahnya aku
pun mengikutinya, menghentikan langkahku. Tangannya diayunkan ke atas kepalaku,
dan mengelus dengan lembut rambutku. Lalu Steve mendekatkan wajahnya ke arah
wajahku dengan sedikit merunduk karena tubuhnya yang jangkung itu.
“sama-sama jelek.”
Dia berkata demikian tepat di depan wajahku,
dia berkata seperti itu sambil menyungingkan sebuah senyum simpul. Aku rasa apa
yang dilakukannya itu hanya berlangsung selama beberapa puluh detik, tapi
mengapa aku merasa itu berlangsung lama sekali. Jantungku berdetak dengan
sangat cepat, wajahku memanas, aku dapat merasakannya dari ujung-ujung
jemariku. Hari itu aku belum sadar, aku belum sadar kalau aku menyukainya.
***
Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul
12 malam, tapi aku masih berkeliaran di luar rumah. Aku baru saja keluar dari
sebuah toserba yang tidak jauh dari apartment yang aku tinggali. Udara dingin
menusuk tulang-tulangku, aku menggigil kedinginan, lalu merapatkan jaket yang
kukenakan. Jalanan terlihat sangat sepi sekali, tidak banyak orang yang
berjalan-jalan ditengah malam seperti itu, aku memutar sebuah lagu dengan ipod,
setidaknya untuk menghilangkan rasa takut.
Entah mengapa aku merasa ada seseorang yang
mengikutiku, aku menengok ke kiri dan ke kanan, tidak ada siapa-siapa. Aku
mempercepat langkah kakiku, takut-takut hal yang tidak aku inginkan terjadi.
Aku tidak berani menengok ke belakang, kupercepat langkahku. Tiba-tiba
langkahku terhenti seketika, ketika aku melihat seorang laki-laki paruh baya
yang tidak ku kenal, menghadang jalanku. Laki-laki itu mendekatiku, aku mundur
selangkah demi selangkah. Rasa takut menjalar dari ujung kaki hingga ujung
tanganku, otakku seakan mati, tidak dapat berfikir. Entah mengapa aku tidak
dapat mengeluarkan suaraku, aku hanya bisa mundur, tanpa terasa air mata
menetes dari sudut-sudut mataku.
Aku dapat merasakan seluruh tubuhku
gemetaran, aku tidak dapat bergerak sama sekali, laki-laki separuh baya di
depanku mengunci semua gerakkanku. Air mataku masih terus mengalir, sementara
aku memerintahkan otakku untuk memberikan sebuah pesan agar mulutku dapat
mengeluarkan suara, namun hasilnya nihil. Otakku sendiri tidak tahu bagaimana
harus berfikir, harus memberikan perintah pada setiap anggota tubuhku.
Laki-laki paruh baya, itu perlahan tapi pasti menggerakkan tiap jari jemarinya
di atas wajahku. Namun lama kelamaan, jari-jari kurus itu semakin terlihat
kurang ajar. Jarinya menelusuri tulang hidungku, berjalan menelusuri tulang
pipiku, lalu terus menggerakkannya hingga ke leherku. Dia mengecup leherku itu.
Aku ingin berteriak, namun suaraku sama
sekali tidak keluar.
Tiba-tiba saja aku merasa tubuhku terlempar
ke belakang, punggungku menghantam tanah. Seketika tubuhku terasa nyeri. Aku
membuka mataku perlahan dan samar-samar aku melihat sosok laki-laki tinggi,
sedang menghajar laki-laki biadab tadi.
“kamu tidak apa-apa?”
Laki-laki ini mengulurkan tangannya ke arahku,
dan dengan cepat aku menggenggamnya. Dia membantuku berdiri, tapi kakiku belum
kuat menopang sebagian besar berat tubuhku, sampai-sampai laki-laki ini harus
memapahku.
“kakimu terasa sakit ya?”
Aku mengangguk ringan, seluruh tubuhku
gemeratan, aku masih merasa takut, walaupun aku tahu orang yang berada
disampingku adalah orang baik-baik. Aku masih tidak mengenali siapa orang yang
memapahku dan membantu diriku itu sampai aku duduk di depannya aku baru sadar
siapa dia.
“Steven?”, gumamku.
“ya? Kamu perlu sesuatu?”
“itu benar-benar kamu ya?”
“ya, ini aku Steve. Kenapa Carol?”
Tiba-tiba saja, air mata menitiki pipiku. Aku
tidak tahu kenapa aku menangis, entah karena senang itu adalah Steve, atau
karena saat itu aku sangat ketakutan, atau mungkin karena saat itu aku
benar-benar ingin berada disisinya. Lalu Steve mendekapku, membawa aku ke dalam
dekapan terhangat untuk membuatku menjadi tenang.
***
Aku duduk termenung, menatap dengan tatapan
kosong pada buku matematika di atas meja, kerumunan orang-orang saling bercanda
dan berbagi cerita memenuhi ruangan kelas itu. Aku masih melamun ketika Steve
berdiri disampingku dan memukul kepalaku ringan. Aku mendongak ke arahnya. Dia
tersenyum melihatku, dan aku membalas senyumnya.
“kenapa kamu?”
Aku menggeleng dan kembali sibuk menatapi
buku matematika dengan tatapan kosong, lalu aku merasakan kepalaku dipukul
sesuatu ringan.
“Steve, hentikan sakit tahu!”
“senyum dulu jelek, bweeee :p”
Dia menjulurkan lidahnya, bertingkah seperti
anak kecil hanya untuk membuatku tersenyum. Aku menggeleng dan menggembungkan
pipiku, menandakan aku tidak mau tersenyum saat itu. Dia mengerti lalu
mencondongkan tubuhnya dekat sekali ke arahku, wajahnya tepat berada di depan
wajahku, bahkan aku dapat merasakan hembusan nafasnya menggelitiki pipiku
pelan. Aku merasakan tubuhku gemetaran, lalu tiba-tiba saja Steve menggenggam
tangganku.
“jangan takut, aku disini. Aku akan
menjagamu…”
Lalu Steve mundur, dan duduk dikursinya
sendiri, wajahku memanas, tapi seluruh tubuhku sudah tidak gemetaran lagi.
***
Sore itu seusai mengikuti kegiatan klub, aku
berjalan sendirian di koridor. Tiba-tiba saja langkahku terhenti ketika
menemukan seseorang terduduk di lantai, aku segera berlari menghampirinya.
“Steve!!”, pekikku.
Dia menatapku sekilas, lalu kemudian mengembangkan
seutas senyum simpul. Aku tidak tahu kenapa dia, aku menggenggam tangannya.
“kamu tidak apa-apa bukan? Tanganmu dingin
sekali, Steve?”
Dia menggeleng singkat menjawab seluruh
pertanyaanku. Tetapi aku tahu dia berbohong, tangannya, bukan. Seluruh tubuhnya
gemetaran, dan aku dapat merasakannya.
“kamu sakit?”
Steve kembali menggelengkan kepalanya, dia
berusaha membuat aku tenang, namun tidak berhasil, kali ini kekhawatiranku
sungguh tidak bisa dibendung, aku tidak tahu apa yang harus dilakukan saat itu.
Aku tidak tahu, apa yang akan membuatnya merasa lebih baik saat itu. Aku tidak
dapat berbuat apa-apa saat itu. Air mata mengalir dengan sendirinya, tanpa
perintah. Saat itu jemari Steve bermain di pipiku, dengan gemetaran dia
menghapus titik air mata tersebut. Kemudian, dia membawaku kedalam dekapan
hangatnya. Lalu dia berbisik di telingaku.
“aku tidak apa-apa, aku hanya butuh dirimu disini.”
“aku tidak apa-apa, aku hanya butuh dirimu disini.”
Aku tercenang. Wajahku memanas. Jantungku
berdegup dengan kencang, sangat kencang, bahkan aku dapat mendengarnya sendiri.
Aku hanya berharap agar Steve tidak dapat mendengar degup jangtungku saat itu.
“kau tahu?”
Dia kembali berbisik di telingaku. Aku menggeleng,
tanpa bersuara. Entah mengapa suaraku tidak mau keluar.
“aku.. aku merasa nyaman memelukmu seperti
ini. Rasanya hangat, terima kasih Carol.”
Satu kalimat terakhir yang baru saja dia
ucapkan mampu membuat aku tersenyum sendiri. Aku senang sekali mendengar dia
berkata demikian. Kali ini aku menemukan suaraku.
“aku..aku..aku juga…”
Kemudian Steve mendorong tubuhku perlahan
menjauh darinya, tidak lagi ada dekapan hangat. Kekecewaan melanda hatiku
dengan cepat. Aku menemukan senyum diwajahnya, lalu dengan sebelah tangannya,
dia menggenggam tanganku.
“aku merasa lebih baik sekarang, ah maksudku
setelah memelukmu tadi. Semua rasa sakit yang tadi aku rasakan lenyap, terima
kasih Carol…”
Aku mengembangkan senyum diwajahku, aku
berharap senyum itu tidak terlihat canggung. Aku harap wajahku tidak terlihat
memerah ketika tersenyum di hadapannya.
Sedetik kemudian Steve sudah berdiri, dan
membantuku berdiri. Tangan kananku masih di genggamnya.
“Carol, ada yang ingin aku katakan padamu…”
Aku tidak berani menatap wajahnya saat itu,
entah kenapa aku tidak memiliki keberanian itu.
“ngg, a..apa?”
Aku tahu suaraku terdengar canggung, bahkan
di telingaku sendiri itu terdengar begitu canggung.
“aku, sudah lama menyukaimu…”
Aku tersentak kaget hingga mundur selangkah
kebelakang, mencoba menjauh darinya. Namun aku tidak bisa bergerak mundur,
karena sebelah tanganku masih di genggamnya. Wajahku memerah, aku tahu Steve
menyadarinya.
“maukah kamu menerima perasaanku ini, Carol?”
Suaranya terdengar penuh harap, terdengar
begitu berat, dan terdengar begitu serius di telingaku. Selama beberapa saat
aku kehilangan kata-kata, selama beberapa saat koridor tempat kami berdiri
tidak terdengar suara apa-apa. Tempat itu menjadi hening seketika.
“ya.”
Aku baru saja sadar jika sedari tadi aku
menahan nafas, entah mengapa aku menahannya sedari tadi. Dan aku baru saja
kembali bernafas normal ketika aku sudah bisa mengatakan sepotong kata yang
begitu sulit untuk dikatakan itu.
“aku juga menyukaimu.”
Aku berhasil mengatakannya, mengatakan satu
hal yang sudah lama sekali terpendam di sudut hatiku, mengatakan hal yang
begitu sulit dikatakan, sekarang aku berhasil. Senyum mengembang diwajahnya,
aku juga tersenyum menatapnya. Kemudian dia memelukku lagi.
***
Alunan-alunan musik yang menenangkan masih
mengalun melalui headphone yang digunakannya. Tangannya masih menopang dagunya,
dan coffee kesukaannya masih menyeruakkan bau khasnya. Steve berlari ke arah
meja yang diduduki oleh seorang gadis yang di cintainya. Berharap, sang gadis
tidak menunggunya terlalu lama.
“hey!”
Steven menepuk pundak si gadis. Gadis itu
melepaskan headphone-nya dan meletakkannya di atas meja. Dengan cepat Steve
mengecup dahi gadis itu, dan senyum simpul menggembang di wajah keduanya.
“maaf aku terlambat..”
Gadis itu menggeleng singkat dan tetap
tersenyum. Lamunan gadis itu terhenti, karena orang yang ada di fikirannya
sejak tadi sudah duduk dihadapannya, tersenyum padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar