Minggu, 04 Maret 2012

jaaa jaaa, ini cerpen terbaru gue. nggg cerpen yang baru kelar beberapa puluh menit yang lalu.
ada beberapa cerpen di fbook gue, yang mau baca monggo di baca..
ini link fbook saya ---->> http://www.facebook.com/vfchan?ref=tn_tnmn


oh ya mau baca cerpen yg judulnya i'm with you di atas? monggo di baca XD


Duduk sambil menyesap segelas coffee kesukaannya, di tengah udara dingin yang menusuk tulang, cukup menghibur diri untuk seorang Caroline. Butiran-butiran salju dapat dilihatnya dari sudut-sudut kaca, dingin semakin merasuk, dan kini dia sudah mulai bosan menunggu. Caroline mengambil ipod dari tas ranselnya, memasang headphone, dan memutar sebuah lagu. Dentingan-dentingan alunan sebuah musik mengalun pelan, Caroline mengangkat sebelah tangannya dan menaruh telapak tangannya dibawah dagu. Kini otaknya mengarahkan fikiran-fikirannya melayang jauh dengan semua ingatan-ingatan yang ada. 

***
Aku berlari-lari kecil menuju gerbang sekolah, sebelumnya aku menengok ke arah jam yang melingkar di pergelangan tanganku, sedikit shock melihat jarum jam berputar sangat cepat, aku mempercepat langkahku. Tidak sadar dengan langkah-langkahku, aku tersandung dan hampir saja mencium tanah, jika dia tidak menangkapku dengan cepat.
“dasar bodoh!”
Dia menangkap diriku, membantuku berdiri dan mengatakan kalau aku bodoh. Berani sekali berkata seperti itu, aku mencoba untuk bersabar karena dia yang menolongku, kalau tidak mungkin sebuah pukulan sudah melayang jatuh di atas perutnya saat itu juga. Aku meringis, ketika dia memukul kepalaku pelan.
“aw, kenapa memukulku sih?”
“supaya kamu tidak ceroboh lagi, jelek!”
Sabar, sabar, sabar, baru saja dia menolongmu. Jangan layangkan tinjumu kepada laki-laki menyebalkan itu Carol, jangan. Aku mewanti-wanti di dalam hati.
“Steve, thanks ya sudah nolongin aku tadi.”
Aku menyunggingkan senyum termanis yang aku miliki, dan berharap dia akan takluk melihat senyumku itu. Hah, rasakan. Lihat senyum manisku ini, pasti kau tidak berkutik melihatnya! Steven menengok ke arahku, menemukan senyumku masih mengembang diwajah. Steven terseyum menatapku, ini kali pertama aku melihatnya tersenyum seperti itu kepadaku.

Tiba-tiba Steve menghentikan langkahnya aku pun mengikutinya, menghentikan langkahku. Tangannya diayunkan ke atas kepalaku, dan mengelus dengan lembut rambutku. Lalu Steve mendekatkan wajahnya ke arah wajahku dengan sedikit merunduk karena tubuhnya yang jangkung itu.
“sama-sama jelek.”
Dia berkata demikian tepat di depan wajahku, dia berkata seperti itu sambil menyungingkan sebuah senyum simpul. Aku rasa apa yang dilakukannya itu hanya berlangsung selama beberapa puluh detik, tapi mengapa aku merasa itu berlangsung lama sekali. Jantungku berdetak dengan sangat cepat, wajahku memanas, aku dapat merasakannya dari ujung-ujung jemariku. Hari itu aku belum sadar, aku belum sadar kalau aku menyukainya.

***
Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 12 malam, tapi aku masih berkeliaran di luar rumah. Aku baru saja keluar dari sebuah toserba yang tidak jauh dari apartment yang aku tinggali. Udara dingin menusuk tulang-tulangku, aku menggigil kedinginan, lalu merapatkan jaket yang kukenakan. Jalanan terlihat sangat sepi sekali, tidak banyak orang yang berjalan-jalan ditengah malam seperti itu, aku memutar sebuah lagu dengan ipod, setidaknya untuk menghilangkan rasa takut.

Entah mengapa aku merasa ada seseorang yang mengikutiku, aku menengok ke kiri dan ke kanan, tidak ada siapa-siapa. Aku mempercepat langkah kakiku, takut-takut hal yang tidak aku inginkan terjadi. Aku tidak berani menengok ke belakang, kupercepat langkahku. Tiba-tiba langkahku terhenti seketika, ketika aku melihat seorang laki-laki paruh baya yang tidak ku kenal, menghadang jalanku. Laki-laki itu mendekatiku, aku mundur selangkah demi selangkah. Rasa takut menjalar dari ujung kaki hingga ujung tanganku, otakku seakan mati, tidak dapat berfikir. Entah mengapa aku tidak dapat mengeluarkan suaraku, aku hanya bisa mundur, tanpa terasa air mata menetes dari sudut-sudut mataku.

Aku dapat merasakan seluruh tubuhku gemetaran, aku tidak dapat bergerak sama sekali, laki-laki separuh baya di depanku mengunci semua gerakkanku. Air mataku masih terus mengalir, sementara aku memerintahkan otakku untuk memberikan sebuah pesan agar mulutku dapat mengeluarkan suara, namun hasilnya nihil. Otakku sendiri tidak tahu bagaimana harus berfikir, harus memberikan perintah pada setiap anggota tubuhku. Laki-laki paruh baya, itu perlahan tapi pasti menggerakkan tiap jari jemarinya di atas wajahku. Namun lama kelamaan, jari-jari kurus itu semakin terlihat kurang ajar. Jarinya menelusuri tulang hidungku, berjalan menelusuri tulang pipiku, lalu terus menggerakkannya hingga ke leherku. Dia mengecup leherku itu.  Aku ingin berteriak, namun suaraku sama sekali tidak keluar.

Tiba-tiba saja aku merasa tubuhku terlempar ke belakang, punggungku menghantam tanah. Seketika tubuhku terasa nyeri. Aku membuka mataku perlahan dan samar-samar aku melihat sosok laki-laki tinggi, sedang menghajar laki-laki biadab tadi.
“kamu tidak apa-apa?”
Laki-laki ini mengulurkan tangannya ke arahku, dan dengan cepat aku menggenggamnya. Dia membantuku berdiri, tapi kakiku belum kuat menopang sebagian besar berat tubuhku, sampai-sampai laki-laki ini harus memapahku.
“kakimu terasa sakit ya?”
Aku mengangguk ringan, seluruh tubuhku gemeratan, aku masih merasa takut, walaupun aku tahu orang yang berada disampingku adalah orang baik-baik. Aku masih tidak mengenali siapa orang yang memapahku dan membantu diriku itu sampai aku duduk di depannya aku baru sadar siapa dia.
“Steven?”, gumamku.
“ya? Kamu perlu sesuatu?”
“itu benar-benar kamu ya?”
“ya, ini aku Steve. Kenapa Carol?”
Tiba-tiba saja, air mata menitiki pipiku. Aku tidak tahu kenapa aku menangis, entah karena senang itu adalah Steve, atau karena saat itu aku sangat ketakutan, atau mungkin karena saat itu aku benar-benar ingin berada disisinya. Lalu Steve mendekapku, membawa aku ke dalam dekapan terhangat untuk membuatku menjadi tenang.

***
Aku duduk termenung, menatap dengan tatapan kosong pada buku matematika di atas meja, kerumunan orang-orang saling bercanda dan berbagi cerita memenuhi ruangan kelas itu. Aku masih melamun ketika Steve berdiri disampingku dan memukul kepalaku ringan. Aku mendongak ke arahnya. Dia tersenyum melihatku, dan aku membalas senyumnya.
“kenapa kamu?”
Aku menggeleng dan kembali sibuk menatapi buku matematika dengan tatapan kosong, lalu aku merasakan kepalaku dipukul sesuatu ringan.
“Steve, hentikan sakit tahu!”
“senyum dulu jelek, bweeee :p”
Dia menjulurkan lidahnya, bertingkah seperti anak kecil hanya untuk membuatku tersenyum. Aku menggeleng dan menggembungkan pipiku, menandakan aku tidak mau tersenyum saat itu. Dia mengerti lalu mencondongkan tubuhnya dekat sekali ke arahku, wajahnya tepat berada di depan wajahku, bahkan aku dapat merasakan hembusan nafasnya menggelitiki pipiku pelan. Aku merasakan tubuhku gemetaran, lalu tiba-tiba saja Steve menggenggam tangganku.
“jangan takut, aku disini. Aku akan menjagamu…”
Lalu Steve mundur, dan duduk dikursinya sendiri, wajahku memanas, tapi seluruh tubuhku sudah tidak gemetaran lagi.

***
Sore itu seusai mengikuti kegiatan klub, aku berjalan sendirian di koridor. Tiba-tiba saja langkahku terhenti ketika menemukan seseorang terduduk di lantai, aku segera berlari menghampirinya.
“Steve!!”, pekikku.
Dia menatapku sekilas, lalu kemudian mengembangkan seutas senyum simpul. Aku tidak tahu kenapa dia, aku menggenggam tangannya.
“kamu tidak apa-apa bukan? Tanganmu dingin sekali, Steve?”
Dia menggeleng singkat menjawab seluruh pertanyaanku. Tetapi aku tahu dia berbohong, tangannya, bukan. Seluruh tubuhnya gemetaran, dan aku dapat merasakannya.
“kamu sakit?”
Steve kembali menggelengkan kepalanya, dia berusaha membuat aku tenang, namun tidak berhasil, kali ini kekhawatiranku sungguh tidak bisa dibendung, aku tidak tahu apa yang harus dilakukan saat itu. Aku tidak tahu, apa yang akan membuatnya merasa lebih baik saat itu. Aku tidak dapat berbuat apa-apa saat itu. Air mata mengalir dengan sendirinya, tanpa perintah. Saat itu jemari Steve bermain di pipiku, dengan gemetaran dia menghapus titik air mata tersebut. Kemudian, dia membawaku kedalam dekapan hangatnya. Lalu dia berbisik di telingaku.
“aku tidak apa-apa, aku hanya butuh dirimu disini.”
Aku tercenang. Wajahku memanas. Jantungku berdegup dengan kencang, sangat kencang, bahkan aku dapat mendengarnya sendiri. Aku hanya berharap agar Steve tidak dapat mendengar degup jangtungku saat itu.
“kau tahu?”
Dia kembali berbisik di telingaku. Aku menggeleng, tanpa bersuara. Entah mengapa suaraku tidak mau keluar.
“aku.. aku merasa nyaman memelukmu seperti ini. Rasanya hangat, terima kasih Carol.”
Satu kalimat terakhir yang baru saja dia ucapkan mampu membuat aku tersenyum sendiri. Aku senang sekali mendengar dia berkata demikian. Kali ini aku menemukan suaraku.
“aku..aku..aku juga…”
Kemudian Steve mendorong tubuhku perlahan menjauh darinya, tidak lagi ada dekapan hangat. Kekecewaan melanda hatiku dengan cepat. Aku menemukan senyum diwajahnya, lalu dengan sebelah tangannya, dia menggenggam tanganku.
“aku merasa lebih baik sekarang, ah maksudku setelah memelukmu tadi. Semua rasa sakit yang tadi aku rasakan lenyap, terima kasih Carol…”
Aku mengembangkan senyum diwajahku, aku berharap senyum itu tidak terlihat canggung. Aku harap wajahku tidak terlihat memerah ketika tersenyum di hadapannya.

Sedetik kemudian Steve sudah berdiri, dan membantuku berdiri. Tangan kananku masih di genggamnya.
“Carol, ada yang ingin aku katakan padamu…”
Aku tidak berani menatap wajahnya saat itu, entah kenapa aku tidak memiliki keberanian itu.
“ngg, a..apa?”
Aku tahu suaraku terdengar canggung, bahkan di telingaku sendiri itu terdengar begitu canggung.
“aku, sudah lama menyukaimu…”
Aku tersentak kaget hingga mundur selangkah kebelakang, mencoba menjauh darinya. Namun aku tidak bisa bergerak mundur, karena sebelah tanganku masih di genggamnya. Wajahku memerah, aku tahu Steve menyadarinya.
“maukah kamu menerima perasaanku ini, Carol?”
Suaranya terdengar penuh harap, terdengar begitu berat, dan terdengar begitu serius di telingaku. Selama beberapa saat aku kehilangan kata-kata, selama beberapa saat koridor tempat kami berdiri tidak terdengar suara apa-apa. Tempat itu menjadi hening seketika.
“ya.”
Aku baru saja sadar jika sedari tadi aku menahan nafas, entah mengapa aku menahannya sedari tadi. Dan aku baru saja kembali bernafas normal ketika aku sudah bisa mengatakan sepotong kata yang begitu sulit untuk dikatakan itu.
“aku juga menyukaimu.”
Aku berhasil mengatakannya, mengatakan satu hal yang sudah lama sekali terpendam di sudut hatiku, mengatakan hal yang begitu sulit dikatakan, sekarang aku berhasil. Senyum mengembang diwajahnya, aku juga tersenyum menatapnya. Kemudian dia memelukku lagi.

***
Alunan-alunan musik yang menenangkan masih mengalun melalui headphone yang digunakannya. Tangannya masih menopang dagunya, dan coffee kesukaannya masih menyeruakkan bau khasnya. Steve berlari ke arah meja yang diduduki oleh seorang gadis yang di cintainya. Berharap, sang gadis tidak menunggunya terlalu lama.
“hey!”
Steven menepuk pundak si gadis. Gadis itu melepaskan headphone-nya dan meletakkannya di atas meja. Dengan cepat Steve mengecup dahi gadis itu, dan senyum simpul menggembang di wajah keduanya.
“maaf aku terlambat..”
Gadis itu menggeleng singkat dan tetap tersenyum. Lamunan gadis itu terhenti, karena orang yang ada di fikirannya sejak tadi sudah duduk dihadapannya, tersenyum padanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar